Apa itu Duck Syndrome?
Istilah duck syndrome berasal dari gagasan bahwa bebek dapat terlihat tenang dan santun saat meluncur di permukaan air namun mengayuh dengan panik dan cepat di bawah permukaan untuk tetap mengapung. Kita tidak dapat melihat pekerjaan mendayung yang intens dan konstan, hanya gerakan meluncur yang tenang. Beberapa orang mengalami perasaan ini. Mereka mungkin tampak tenang dan terlihat menjalani hidup mereka dengan mudah dan mampu memenuhi tuntutan, tetapi pada kenyataannya, mereka dengan panik berusaha untuk mengikuti dan tetap bertahan.
Duck syndrome juga dikenal dengan Stanford Duck Syndrome karena istilah ini pertama kali diceruskan di Stanford University. Duck syndrome sering digunakan untuk menggambarkan mahasiswa yang memberikan kiasan untuk meluncur dengan mudah sambil dengan panik berusaha memenuhi tuntutan hidup. Mereka mungkin memberi tekanan pada diri mereka sendiri untuk berhasil atau merasa bahwa mereka harus memenuhi harapan yang tinggi.
Duck syndrome tidak termasuk gangguan mental, tetapi perasaan “mendayung dengan panik” sambil mempertahankan sikap luar yang tenang bisa dialami oleh sekelompok orang. Duck syndrome dapat menjadi salah satu tanda munculnya depresi, kecemasan, atau gangguan mental lainnya.
Gejala Duck Syndrome
- Merasa kewalahan atau merasa tidak bisa mengendalikan situasi
- Kesulitan untuk rileks dan menenangkan pikiran.
- Merasa buruk tentang diri sendiri, kesepian atau membandingkan diri sendiri dengan orang lain dan percaya bahwa orang lain lebih baik.
- Merasa gugup.
- Gejala fisik termasuk energi rendah, sulit tidur, ketegangan otot, gigi terkatup, mual, atau mulut kering.
- Gejala kognitif termasuk terus-menerus khawatir, pelupa, pikiran kacau, kesulitan fokus, dan penilaian yang buruk.
- Perubahan perilaku termasuk perubahan nafsu makan, suka menunda, peningkatan penggunaan zat seperti alkohol atau obat-obatan, atau perilaku gugup seperti gelisah atau menggigit kuku.
Faktor Risiko Duck Syndrome
Faktor risiko untuk duck syndrome mencakup:
- Tekanan yang berasal dari media sosial yang menuntut agar kehidupan terlihat sempurna;
- Penerapan pola asuh helikopter yang menuntut dan sangat kompetitif, menjunjung tinggi kesempurnaan, dan orang tua yang terlalu protektif terhadap anak sehingga anak tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan ketahanan dan kekuatan serta menerima tantangan hidup;
- Memiliki risiko gangguan mental, seperti depresi atau kecemasan. Duck syndrome, depresi, ataupun kecemasan dapat dikaitkan dengan tingkat neurotransmiter yang tidak normal di otak, ukuran beberapa area otak yang lebih kecil, dan peningkatan aktivitas di bagian otak lainnya.
- Secara gender anak perempuan lebih mungkin mengalami duck syndrome daripada anak laki-laki. Hal ini disebabkan adanya perbedaan biologis berdasarkan jenis kelamin serta perbedaan pengalaman dan cara menafsirkannya.
- Secara genetik, anak-anak dengan orang tua yang memiliki depresi atau cemas lebih mungkin untuk mengembangkan duck syndrome.
- Memiliki trauma, seperti pernah menjadi korban pelecehan verbal, fisik, atau seksual, korban KDRT, kematian orang yang dicintai, masalah sekolah, bullying, atau mendapat tekanan dari teman sebaya bisa menjadi pertimbangan penyebab duck syndrome.
- Kemiskinan, paparan kekerasan masyarakat, isolasi sosial, konflik orang tua, perceraian, dan penyebab lain dari gangguan keluarga dapat menjadi kontirbutor dalam duck syndrome.
- Anak-anak yang memiliki aktivitas fisik terbatas, prestasi sekolah yang buruk, atau memiliki hubungan terbatas berisiko lebih tinggi untuk mengalami depresi, kecemasan, dan duck syndrome.
Tips Mengatasi Duck Syndrome
Manajemen waktu. Gunakan agenda atau planner untuk menentukan waktu yang cukup dalam sehari untuk mencapai apa yang kita butuhkan atau inginkan agar tidak kewalahan.
Melakukan kegiatan santai atau menyenangkan. Meluangkan waktu untuk melakukan hal-hal yang kita sukai dapat mengatasi stres dan meningkatkan suasana hati Anda. Ini bisa berupa hal-hal sederhana seperti mengobrol dengan teman atau berjalan-jalan ke taman. Coba juga teknik relaksasi seperti relaksasi otot progresif, pernapasan dalam, dan mindfulness.
Self-care, self-awareness, dan self-compassion. Cobalah untuk tidak terlalu keras pada diri sendiri. kalau sedang merasa kewalahan, gugup, stres, atau sedih, cobalah untuk menyadari perasaan kita dan mencari tahu bagaimana mengatasinya.
Jaga kesehatan fisik. Makan makanan teratur yang terdiri dari makanan sehat dan bergizi, membatasi asupan kafein, berolahraga, dan tidur teratur dapat membantu mengelola stres dan melepaskan endorfin (hormon bahagia), lebih bisa mengelola emosi, memori, pembelajaran, dan energi.
Menceritakan perasaan pada orang lain. Bersikap jujur dan terbuka tentang perasaan kita kepada orang terdekat, seperti keluarga dan teman dapat memberikan sedikit kelegaan. Jangan pendam sendiri kesulitan yang sedang kamu alami, cobalah untuk berbagi cerita dengan orang lain.
Referensi:
Edwards, R. D. (2021, January 13). Duck Syndrome: Mental Health Symptoms & Definition. MedicineNet. Retrieved November 12, 2021, from https://www.medicinenet.com/duck_syndrome/article.htm
Kirby, S. (2018, February 8). What Is Duck Syndrome & Are You Suffering From It? | BetterHelp. Better Help. Retrieved November 12, 2021, from https://www.betterhelp.com/advice/stress/what-is-duck-syndrome-are-you-suffering-from-it/
Leave a comment